Kisah Haru Jan Koum, Sang Pendiri WhatsApps
13.07.00 |
|loading...
Kisah haru Jan Koum, salah seorang pendiri WhatsApps layak kita jadikan sebagai motivasi untuk terus maju, tetap semangat dan pantang menyerah untuk mewujudkan apa yang menjadi impian dan cita-cita. Kisah haru dan kadang pilu sering kali menjadi bagian dari suksesnya orang-orang besar. Karena sejatinya tak ada kesuksesan yang instan. Semuanya butuh proses, dan proses lah yang penting. Sedangkan hasil adalah bonus dari kerja keras yang telah di lakukan. Seperti kisah Jan Koum berikut.
![]() |
Jan Koum, Pendiri WhatsApps |
Jan Koum, pendiri WhatsApps, lahir dan besar di Ukraina dari keluarga yang relatif miskin. Saat usia 16 tahun, ia kemudian nekat pindah ke Amerika, demi mengejar cita-cita dan mimpinya yang kemudian di kenal sebagai “American Dream”.
Pada usia 17 tahun, ia mengalami hal sulit yaitu hanya bisa makan dari jatah pemerintah. Ia nyaris menjadi gelandangan. Tidur beratap langit, beralaskan tanah. Untuk bertahan hidup, dia bekerja sebagai tukang bersih-bersih supermarket. “Hidup begitu pahit”, Koum membatin.
Hidupnya kian terjal saat ibunya didiagnosa kanker. Mereka bertahan hidup hanya dengan tunjangan kesehatan seadanya. Meski begitu, Koum masih peduli terhadap pendidikannya. Ia kuliah di San Jose University. Tapi kemudian ia memilih drop out, karena lebih suka belajar programming secara autodidak.
Singkat cerita karena keahliannya sebagai programmer, Jan Koum diterima bekerja sebagai engineer di Yahoo!. Ia bekerja di sana selama 10 tahun. Di tempat itu pula, ia berteman akrab dengan Brian Acton.
Keduanya membuat aplikasi WhatsApp tahun 2009, setelah resign dari Yahoo!. Keduanya sempat melamar ke Facebook yang tengah menanjak popularitasnya saat itu, namun diitolak. Facebook mungkin kini sangat menyesal pernah menolak lamaran mereka.
Setelah WhatsApp resmi dibeli Facebook dengan harga 19 miliar dollar AS (sekitar Rp 224 triliun), Jan Koum melakukan ritual yang mengharukan. Ia datang ke tempat dimana ia dulu, saat umur 17 tahun, setiap pagi antre untuk mendapatkan jatah makanan dari pemerintah. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding tempat ia dulu antre. Mengenang saat-saat sulit, dimana bahkan untuk makan saja ia tidak punya uang.. Pelan-pelan, air matanya meleleh. Ia tidak pernah menyangka perusahaannya dibeli dengan nilai setinggi itu. Ia lalu mengenang ibunya yg sudah meninggal karena kanker. Ibunya yang rela menjahit baju buat dia demi menghemat. “Tak ada uang, Nak…”. Jan Koum tercenung. Ia menyesal tak pernah bisa mengabarkan berita bahagia ini kepada ibunya.
Dari kisah Jan Koum, ada banyak pelajaran berharga yang dapat kita ambil. Pertama untuk sukses tidak ada yang instan. Semua butuh proses yang tidak sebentar. Sabar, berusaha dan berdoa adalah kuncinya. Kedua, tentang seorang ibu. Kita tak pernah tahu masihkah ada kesempatan untuk membahagiakannya atau tidak. Seperti kisah Jan Koum yang tidak punya lagi kesempatan untuk membahagiakan ibunya. Jangankan membahagiakan. Memberi tahu kabar bahagia kesuksesannya saja sudah tak bisa. Untuk itu, sayangi orang tua kita terutama ibu. Bahagiakan, lakuakan apa yang bisa kita lakukan untuk mereka. Karena waktu tak kan menunggu siapa-siapa untuk menjemput.